Sejarah Kampung Mahmud
Kampung Mahmud, salah satu kampung yang ada
di Desa Mekarrahayu Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung, merupakan kampung
yang masyarakatnya masih memegang teguh adat-istiadat warisan nenek moyangnya.
Hal itu terwujud dalam berbagai kehidupan sehari-hari, dengan adanya berbagai
larangan yang bersifat sakral ‘tabu atau pantangan’ yang dipegang teguh oleh
masyarakat secara turun temurun dan relatif terjaga keasliannya.
Kampung Mahmud secara administratif
termasuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih Kabupaten
Bandung. Dalam organisasi pemerintahannya, Desa Mekarrahayu ini terdiri atas 16
RW sedangkan lokasi Kampung Mahmud terletak di sebelah barat pusat pemerintahan
desa. Adapun Desa Mekarrahayu sendiri terletak di sebelah selatan pusat
pemerintahan kecamatan.
Desa Mekarrahayu dapat ditempuh dengan
menggunakan kendaraan umum (angkot) jurusan Kampung Mahmud dari Terminal
Tegallega., melalui alur jalan Tegallega, By Pass, Holis, Cigondewa, dan
Kampung Mahmud.
Lokasi Kampung Mahmud memang agak terpencil
dari kampung-kampung lainnya, baik kampung yang berada di wilayah desa maupun
yang berada di luar desa. Kemudian letaknya pun di pinggir Sungai Citarum yang
sekaligus sebagai batas wilayah dengan desa lainnya.
Luas Desa Mekarrahayu sekitar 299.664 ha.
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
• sebelah utara berbatasan dengan Desa
Rahayu dan Desa Cigondewah;
• sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Pameuntasan dan Daraulin;
• sebelah barat berbatasan dengan Desa
Nanjung;
• sebelah timur berbatasan dengan Desa
Margahayu.
Keadaan Alam
Keadaan permukaan tanah di Desa Mekarrahayu
terdiri atas daratan dan pesawahan, dengan rincian: tanah perumahan dan
pekarangan sekitar 123.630 ha. tanah pesawahan 136.925 ha, dan tanah pertanian
kering, ladang, serta tegalan sekitar 39.109 ha. Melihat kondisi tanahnya dapat
dikatakan cukup subur dengan hasil bumi yang melimpah, dalam arti dapat
memenuhi kebutuhan warga setempat tanpa harus mendatangkan dari luar. Selain
itu, di sekitar kampung terdapat banyak pohon bambu yang kemudian dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk anyaman seperti bilik dan alas lantai
‘palupuh’.
Selain tanahnya yang cukup subur, khusus
untuk Kampung Mahmud daerahnya hingga tahun 1980-an belum terpolusi oleh limbah
industri, kecuali air Sungai Citarum yang mengalir di sebelahnya.
Namun kini, masyarakat Kampung Mahmud tidak
lagi concern terhadap tabu yang dahulu dipegang erat. Hal itu terbukti dengan
mulai adanya industri rumah tangga yang mengelola barang-barang bekas seperti
yang ada di daerah Cigondewah. Dahulu, air Sungai Citarum menjadi satu-satunya
sumber air untuk keperluan hidup masyarakat, tetapi sekarang setelah air
tercemar, sumber air itu adalah seke dan sumur.
Sungai Citarum kini hanya dipergunakan
sebagai sumber air untuk pertanian belaka. Dengan perkembangan jaman dan
keperluan perluasan wilayah pemukiman dan perluasan areal di sektor ekonomi,
maka Kampung Mahmud sudah mulai terbuka. Bahkan alur Sungai Citarum yang semula
melingkar mengelilingi perkampungan Mahmud, kini dengan program prokasih sungai
ini diluruskan, sehingga tidak lagi mengelilingi Kampung Mahmud. Jalan hotmix
menuju Kampung Mahmud tampak mulus dan kendaraan roda empat sudah sangat banyak
hilir mudik memasuki perkampungan ini. Mobilitas penduduknya pun sangat tinggi
dengan adanya angkutan yang menuju jurusan kampung ini.
Sejarah Pertumbuhan Kampung
Pada abad 15 Eyang Abdul Manaf pergi ke
Mekah. Setelah beberapa lama bermukim di sana, ia ingin pulang ke negerinya. Ia
pun memohon petunjuk kepada Yang Kuasa agar dapat kembali ke wilayah yang tidak
akan diinjak oleh penjajah (Belanda). Sebelumnya ia telah mendapat firasat
bahwa negerinya akan dijajah bangsa asing.
Selama di Mekah, ia berdoa di Gubah Mahmud,
dekat Masjidil Haram. Dalam do’anya, ia mendapat ilham bahwa nanti akan
menemukan tanah rawa, di sanalah tempat tinggalnya. Ketika pulang, ia pun
mencari tanah berawa-rawa dan ditemukanlah tanah rawa yang ternyata lokasinya
dekat Sungai Citarum. Selanjutnya daerah rawa tersebut ditimbun dan Sungai
Citarum dibelokkan, sehingga mengitari daerah yang akan dijadikan tempat
tinggal.
Daerah tersebut dijadikan tempat
persembunyian ketika Belanda menjajah. Pada saat itulah ia mengeluarkan
larangan kepada masyarakatnya, bahwa :
• membuat rumah jangan yang bagus, tidak
bertembok dan berkaca
• tidak memelihara soang ‘angsa’
• tidak boleh membunyikan goong.
Semua tabu yang diterapkan dilatarbelakangi
oleh keinginan untuk menyembunyikan diri dari Belanda. Jadi tidak memperlihatkan
diri dari segala bentuk tampilan, baik keadaan rumah maupun suara. Di samping
itu, Eyang Abdul Manaf sebagai seorang wali tasawuf menyarankan bahwa tidak
boleh hidup dengan kemewahan duniawi. Selain itu, ketika Eyang Abdul Manaf
mengubah tempat itu sebagai tempat tinggal, ia menanam tanah haram yang dibawa
dari Gubah Mahmud. Setelah tanah itu ditanam, air tanah menjadi kering sama
sekali. Jadi segala kebutuhan hidup akan air didapat dari Sungai Citarum. Untuk
selanjutnya, karena tanah haram yang dibawanya telah ditanamkan di daerah ini,
maka daerah itu oleh Eyang Abdul Manaf dinamakan Kampung Mahmud, sesuai dengan
nama tempat di mana tanah itu diambil.
Setelah lama menetap di kampung Mahmud,
Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 orang putra, yaitu Eyang Sutrajaya, Eyang Inu,
Eyang Mahmud Iyan, Eyang Aslim, Eyang Kiai H. Zaenal Abidin, Kiai H. Muhamad
Madar, dan H. Amin. Semua keturunannya itu menjadi tokoh agama atau ulama di
sekitar Bandung, dan mempunyai pondok-pondok pesantren yang menjadi kiblat pesantren
di Bandung dan sekitarnya.
Pola Pemukiman
Masyarakat Kampung Mahmud berkeyakinan,
bahwa kampungnya merupakan warisan dari para leluhur, yang harus dipelihara
berdasarkan ketentuan adat-istiadat yang telah dibakukan. Oleh karena itu,
mereka tidak berani melanggar atau mengubahnya, seperti tidak boleh menabuh
goong besar maupun goong kecil, rumah tidak memakai kaca, dan memelihara angsa.
Perkampungan masyarakat Kampung Mahmud
tidak jauh berbeda dengan perkampungan masyarakat Sunda tradisional lainnya,
Seperti Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Urug di Kabupaten Bogor, Kampung
Dukuh di Kabupaten Garut, dan Kampung Baduy di Kabupaten Lebak, yaitu bersifat
mengelompok. Letak rumah mereka berderet dan berjajar saling berhadapan di
sepanjang jalan desa atau kampung. Di sebelah barat perkampungan terdapat
Mesjid Ageung Kampung Mahmud, dan di halaman depannya terhampar lapangan luas
sebagai halaman atau Buruan tempat anak-anak bermain. Di sebelah timur dan di
ujung barat perkampungan terdapat Makam Keramat Leluhur Kampung Mahmud, yaitu
Makam Eyang Gedug, Eyang Abdul Manaf dan Eyang Ageung Zaenal Arif.
Bentuk bangunan rumah berupa panggung
dengan bahan-bahan yang terbuat dari Bambu dan kayu. Adapun atap rumah bertipe
jolopong yaitu suhunan panjang dan dinding rumah terbuat dari anyaman bambu
yang disebut bilik, lantai rumah terbuat dari kayu yang disebut balagbag.
Setiap tiang penyangga rumah disangga dengan batu yang disebut tatapakan,.
Tangga untuk naik ke dalam rumah terbuat dari kayu atau bambu yang disusun rapi
disebut golodog.
Bagian tengah rumah biasanya disebut tengah
imah merupakan bagian ruangan yang cukup besar yang digunakan untuk kepentingan
tertentu sepeti menerima tamu pada peristiwa selamatan. Dalam ruangan tersebut
terdapat seperangkat kursi tamu lengkap dengan mejanya dan alat rumah tangga
lainnya, seperti lemari, radio transistor, TV, hiasan dinding sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
Kependudukan
Penduduk Desa Mekarrahayu berdasarkan
monografi desa berjumlah 13.493 jiwa , yang terdiri atas laki-laki 6.893 orang
dan perempuan 6.600. Jumlah penduduk tersebut terbagi ke dalam 2.732 kepala
keluarga.
Ditinjau dari segi pendidikan, masyarakat
Desa Mekarrahayu dapat dikatakan cukup baik, karena sekarang ini anggota
masyarakatnya sudah ada yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Khusus untuk Kampung Mahmud, hal itu sifatnya masih minoritas, karena
mayoritas adalah tamatan SD. Jenjang pendidikan yang ditempuh bermacam-macam,
ada yang masuk lembaga formal, seperti SD, SLTP, SLTA, bahkan ke perguruan
tinggi. Akan tetapi, ada pula yang melanjutkan pendidikan ke lembaga informal
lainnya seperti pesantren.
Penduduk Desa Mekarrahayu, mayoritas
beragama Islam, dan sisanya menganut agama Protestan, Katholik, dan Hindu.
sehingga tempat peribadatan untuk mereka yang beragama Islam sangat
diperhatikan oleh pemerintah dan tokoh masyarakat setempat. Saat ini, di Desa
Mekarrahayu terdapat masjid sebanyak 17 buah dan langgar 62 buah.
Mata pencaharian penduduk bermacam-macam,
mulai dari pegawai negeri, ABRI, pedagang / wiraswasta, buruh, petani,
pensiunan, dan lain-lain. Khusus penduduk Kampung Mahmud, yang saat ini telah
terpengaruh oleh roda jaman, maka penduduknya yang dahhulu bermatapencaharian
sebagai petani, baik di sawah maupun ladang, kini mereka lebih tertarik pada
matapencaharian di luar bertani. Banyak di antara mereka yang beralih profesi
dari petani ke profesi sebagai pedagang, bahkan di dalam Kampung Mahmud
tersebut kini telah berdiri home industry yang mendaur ulang barang rongsokan
menjadi aneka ragam kerajinan.
Kehidupan Sosial Budaya
Pola kehidupan sosial budaya masyarakat
Desa Mekarrahayu, pada umumnya tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan sosial
budaya masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Sunda pedesaan di wilayah Kabupaten
Bandung. Adapun warga Kampung Mahmud, yang mempunyai latar belakang sejarah
yang berbeda dengan kampung lainnya, beranggapan bahwa Kampung Mahmud merupakan
cikal bakal masyarakat di sekitarnya yang berasal dari keturunan Sembah Eyang
Abdul Manaf sebagai penyebar ajaran Islam. Unsur-unsur ajarannya banyak
mewarnai pola kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Warga masyarakat Kampung
Mahmud adalah penganut Islam yang taat menjalankan ajarannya, namun dalam
kehidupan sehari-hari, unsur-unsur tradisi budaya Sunda mewarnai pola kehidupan
mereka. Di sini terjadi semacam fusi antara kedua unsur yang sangat berbeda. Di
satu pihak ajaran Islam melekat dengan kental, di pihak lain unsur budaya Sunda
‘tradisional’ pun tak kalah memberikan nuansa kehidupan mereka. Misalnya, tata
cara kehidupan yang berkaitan dengan pembangunan rumah, di mana adat Sunda
sangat dominan memberikan warna dan nuansanya. Sehingga adanya semacam
‘perkawinan’ antara kebiasaan secara tradisional dengan ajaran agama Islam.
Sistem kepemimpinan pada masyarakat Desa
Mekarrahayu berada di bawah kepemimpinan formal, yaitu dipimpin oleh seorang
kepala desa berserta aparat pemerintahannya. Kepemimpinan formal ini mempunyai
peranan dalam menanamkan disiplin, menjaga keamanan dan ketertiban, kebersihan lingkungan,
keindahan, termasuk menjaga keselarasan hubungan antara adat istiadat dengan
aturan pemerintah.
Adapun di Kampung Mahmud, selain terdapat
kepemimpinan formal, di bawah pimpinan ketua RW dan RT beserta aparatnya, juga
dikenal pimpinan informal seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama. Peranan
mereka sangat dominan dalam kehidupan masyarakat di kampung tersebut.. Mereka
mempunyai peranan dalam membina kepercayaan dan melestarikan adat kebiasaan
terutama dalam melakukan gotong royong untuk kepentingan bersama, seperti
merawat makam Karomah atau sarana-sarana umum lainnya. Para sesepuh juga
merupakan tempat bertanya bagi mereka yang mempunyai masalah, baik individu,
keluarga, maupun kelompok, terutama yang bertalian dengan leluhur mereka.
Kesenian yang terdapat di Kampung Mahmud
kurang berkembang bila dibandingkan dengan perkembangan kesenian di kampung
lainnya di sekitar Kampung Mahmud itu sendiri. Hal itu bukan berarti mereka
tidak menyukai kesenian, akan tetapi mereka sangat patuh pada aturan-aturan
yang berlaku. Di samping itu, adanya tabu untuk memukul goong membuat jenis
kesenian yang ada terbatas sekali, yakni genjringan dan kasidahan.
Sistem religi
Ada tiga elemen khusus yang bertalian
dengan sistem religi bagi suatu kelompok bangsa, yaitu :
1. emosi keagamaan atau getaran jiwa yang
menyebabkan manusia berlaku serba religius
2. sistem kepercayaan atau bayang-bayang
manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, maut, dan sebagainya
3. sistem-sistem upacara keagamaan yang
bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib dan kelompok keagamaan yang
mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara keagamaannya.
Dalam suatu agama selalu ada dua hal pokok
yang dapat diamati, yaitu apa yang harus dipercayai oleh penganutnya dan apa
yang harus dikerjakan oleh penganutnya. Dalam hal agama, masyarakat Kampung
Mahmud penekanannya pada apa yang harus mereka percayai, bukan pada apa yang
harus mereka kerjakan. Ketaatan masyarakat Kampung Mahmud dalam beragama,
tercermin dalam hasrat mereka untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Terkadang mereka mengorbankan harta yang ada dengan menjual kekayaan untuk
memenuhi niat tersebut. Demikian pula halnya dengan status haji, di masyarakat
Kampung Mahmud status tersebut mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat. Orang
yang telah menunaikan ibadah haji, berganti panggilan menjadi ibu haji atau
bapak haji.
Pola kehidupan beragama pada masyarakat
Kampung Mahmud trercermin pula dalam kebiasaan memuliakan bulan yang bertalian
dengan hari-hari besar agama Islam, misalnya bulan Mulud, bulan Ramadhan, bulan
Muharam, dan Idul fitri atau Idul Adha. Peringatan hari-hari besar Islam itu
ditandai dengan hajat. Saling mengirim makanan berupa nasi dan lauk pauk,
terutama kepada orang tua, mertua, dan akhirnya kepada tetangga. Terlebih lagi
sebelum dan saat Idul Fitri, tampak orang-orang membawa susunan rantang yang
berisikan makanan menuju ke rumah orang tua.
Pada hakekatnya, masyarakat Kampung Mahmud
sangat percaya kepada Karuhun atau leluhurnya. Hal itu masih terlihat dan melekat
dalam setiap gerak kehidupannya. kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa membaur
dengan kepercayaan terhadap Karuhun. Situasi demikian berpengaruh pula pada
masyarakat luar di sekelilingnya. Hal itu tampak pada banyaknya pendatang yang
bermaksud ziarah ke makom karomat yang ada di Kampung Mahmud, dengan
maksud-maksud tertentu. Para peziarah itu, selain berdoa dan bersyukur kepada
Tuhan, juga tak lupa berdoa dan berharap kepada karuhun dengan meminta berkah
keselamatan.
Makam Karomah yang ada di Kampung Mahmud
itu adalah :
• Makam Eyang Abdul Manaf
• Makam Sembah Eyang Dalem Abdullah Gedug
• Makam Sembah Agung Zaenal Arif
Makam-makam tersebut sering diziarahi,
bahkan oleh orang-orang yang ada di luar Kampung Mahmud.
Kebiasaan untuk menziarahi makam tersebut
berlangsung setiap hari, kecuali hari Jumat karena dipercaya sebagai hari
ibadah,. Setiap makam dijaga oleh Kuncen yang berbeda, dan di dalam kompleks
tersebut disediakan tempat untuk sembahyang atau tafakur ‘tapa’ dan berwudlu.
Tabu atau Pantangan
Dalam kepercayaan masyarakat Kampung
Mahmud, tabu atau pantangan merupakan suatu prinsip yang selalu dipegang teguh.
Selain karena tabu merupakan suatu usaha untuk menghindarkan diri dari suatu
perbuatan tertentu yang berdampak negatif, jika yang ditabukan itu dikerjakan
pun diyakini akan berakibat kurang baik.
Pantangan atau tabu merupakan penerapan
hukum yang tertua di dalam kehidupan manusia, dan dengan mentaati pantangan itu
pulalah masyarakat dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Singgih Wibisono,
1972 :3). Dalam kehidupan masyarakat Sunda pada umumnya, pantangan atau tabu
ini dikenal dengan sebutan cadu atau pacaduan. Khususnya bagi masyarakat
Kampung Mahmud, pacaduan ini masih sangat dipercayai dan dipatuhi. Pantangan
adalah hukum sosial yang dipaksakan secara sakral, serta mempunyai sangsi dalam
kehidupan masyarakat bila terjadi pelanggaran. Agar pantangan tersebut tetap
dikenal dan dipatuhi oleh segenap warga masyarakatnya, maka harus ada petugas
yang cukup berwibawa dan dihormati oleh seluruh warga pendukungnya sebagai
pemegang otoritas. Di Kampung Mahmud ini, pemegang otoritas tersebut berada di
pundak sesepuh atau Kuncen. Oleh karena itu tabu atau pantangan tersebut
merupakan salah satu wujud dari sistem religi yang biasanya bersumber dari
sistem kepercayaan masyarakat tersebut. Dengan demikian, kekuatan pantangan
atau tabu tersebut terletak pada kesakralannya.
Menurut para informan Tabu di Kampung
Mahmud memiliki kekhasannya, yakni dikaitkan dengan adat istiadat bukan dengan
masalah agama. Adat istiadat ini terlahir dari warisan nenek moyang mereka yang
pernah diucapkan oleh Eyang Abdul Manaf.
Tabu-tabu yang pernah diucapkan leluhur
tersebut adalah, Tidak boleh membuat rumah dari bahan material tembok
(permanen), Tidak boleh membangun rumah dengan menggunakan kaca, Tidak boleh
menabuh goong, Tidak boleh memelihara atau berternak angsa, Tidak boleh membuat
sumur.
Dinamika perkembangan pola kehidupan
masyarakat Kampung Mahmud ternyata tidak statis, mereka lebih dinamis dalam
mengikuti perkembangan jaman dan arus informasi yang terus mendesaknya. Hal itu
disebabkan sikap moderatnya seorang sesepuh yang dalam hal ini dipegang oleh H.
Amin, menyababkan hal-hal yang bersifat tabu itu kini mulai dikikis. Pengikisan
tabu yang digulirkan ini tidak berarti bahwa tabu yang ada harus dilanggar,
melainkan adanya paradigma baru bahwa tabu yang tidak masuk akal ‘irasional’
tidak perlu dipertahankan, melainkan dicoba untuk dirasionalkan.
Rasionalisasi dan pengejawantahan tabu-tabu
yang berlaku selama itu, kini dikembangkan dalam suatu usaha pemahaman bagi
masyarakat Kampung Mahmud untuk mengerti permasalahan yang sebenarnya.
Permasalahan itu tiada lain adalah bahwa
sejarah mengenai lahirnya tabu-tabu itu disebabkan kondisi pada waktu itu yang
sangat memungkinkan untuk tidak melaksanakan atau melakukan sesuatu seperti
halnya yang ditabukan.
Kampung Mahmud yang terletak pada suatu
delta Sungai Citarum, sesuai dengan sejarah perjalanan pembentukan perkampungan
itu, Kampung Mahmud merupakan suatu bentukkan dari tanah rawa yang kemudian
diurug menjadi suatu pelataran dan lahan untuk perkampungan. Keadaan tanah yang
labil itu tidak memungkinkan untuk membangun rumah dari bahan material tembok
(bahan-bahan berat, seperti tembok dan genting) yang memungkinkan hanya rumah
panggung terbuat dari bahan material bambu dengan atap rumbia, ijuk , atau
alang-alang (bahan-bahan ringan).
Berdiri dan mulai tumbuhnya Kampung Mahmud
berjalan pada masa kolonial Belanda, dalam sejarahnya disebutkan bahwa pendiri
Kampung Mahmud tidak mau diinjak oleh kolonial Belanda atau penjajah. Sehingga
sangat memungkinkan pendiri itu berdiam di suatu tempat yang tersembunyi, tidak
berisik dan tidak ramai. Oleh karena itu, cukup wajar apabila tabu-tabu yang
berkaitan dengan terganggunya suasana ketentraman agar tidak terusik
disosialisasikan pada waktu itu.
H. Amin memberikan gambaran bahwa
rasionalisasi tabu yang melarang penduduk memelihara angsa itu adalah adanya
angsa menunjukkan adanya kehidupan manusia yang memeliharanya. Maka angsa pada
waktu itu tidak boleh dipelihara orang, agar Belanda tidak mencurigai bahwa di
kampung itu tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan manusia. Begitu pula
dengan penggunaan kaca pada rumah, kemungkinan daerah itu merupakan daerah
pusat magnet. Sehingga apa yang dikatakan oleh H. Amin sampai sekarang,
penduduk Kampung Mahmud belum berani memasang kaca pada rumahnya. Hal itu
disebabkan sering terjadi hal-hal aneh yang menyebabkan penduduk merasa takut
untuk yang satu ini.
Pernah terjadi beberapa tahun yang lalu,
salah seorang penduduknya datang kepada H. Amin untuk meminta persetujuan
‘tawasul’ bahwa dia akan mempergunakan kaca untuk jendela rumahnya. Apa yang
terjadi, setelah kaca rumah selesai terpasang, kaca itu rontok (pecah) dengan
sendirinya. Dan hal itu telah berulang hingga beberapa kali. Namun kini
masyarakat Kampung
Mahmud sudah berani mempergunakan kaca
sebagai asesoris rumahnya. Dan dewasa ini sudah banyak rumah yang berdiri
dengan megahnya bahkan ada yang berlantai dua dengan mempergunakan bahan material
tembok, berjendela kaca, dan beratap genting. Khusus penggunaan atap genting
sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu yaitu pada jaman setelah
pendudukan Jepang. Seluruh rumah yang ada di Kampung Mahmud sudah mempergunakan
atap genting dan sudah lama meninggalkan atap rumbia atau ijuk.
Hal lain lagi yang berkaitan dengan tabu
yang kini mulai ditinggalkan, yaitu hampir seluruh masyarakat Kampung Mahmud
sudah mempunyai Sumur sebagai sumber air untuk keperluan hidup. Memang pada
waktu kampung ini didirikan, menurut cerita yang tersebar di antara mereka
dikatakan bahwa ketika tanah harom yang dibawa dari Gubah Mahmud (Mekah)
ditanamkan di tempat ini, air tanah langsung mengering. Sehingga sumber air
untuk keperluan hidup hanya dari Sungai Citarum saja. Sumur pada waktu itu
memang ada tapi hanya satu yang kini disebut sebagai sumur Pusaka. Letak sumur
ini berada di sebelah barat kampung. Sumur itu dahulunya dipergunakan hanya
untuk memenuhi kebutuhan berwudlu. Dikatakan oleh H. Amin, secara logika memang
benar pada waktu itu, tabu untuk membuat sumur diberlakukan, karena tanah
Kampung Mahmud merupakan tanah labil yang berawa, sehingga apabila sumur dibuat
dalam keadaan tanah labil (belum padat) akan mengakibatkan longsor. Dengan
dibuatnya sumur untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup akan mengakibatkan
memperlambat pengerasan tanah. Rasionalisasi mengenai tabu untuk membuat sumur
sangat relevan dengan keadaan tanah di sekitar Kampung mahmud pada waktu itu.
Namun kini, setelah tanah mengeras / padat dan dianggap sudah stabil, H. Amin
mencoba untuk mengubah kebiasaan mengambil air keperluan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan membuat sumur. Sehingga tidak lagi Sungai Citarum
dijadikan sumber air untuk keperluan hidup sehari-hari. Setelah H. Amin mempelopori
membuat sumur, maka penduduk sekitarnya mengikuti jejaknya.
Dikatakan H. Amin bahwa dengan dibuatnya
sumur-sumur sebagai sumber air oleh penduduk Kampung Mahmud, merasa kesehatan
cukup terjaga dan lagi bahwa kadar kebersihan air Sungai Citarum kini, berbeda
dengan kadar air Citarum dahulu. Kini air Sungai Citarum sudah sangat jelek dan
tidak layak dijadikan sumber air untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu
disebabkan oleh pencemaran limbah industri. Air Sungai Citarum kini tampak
hitam pekat. Oleh karena itulah air dari sungai tersebut hanya dipergunakan
untuk pertanian.
Kepercayaan dalam Membangun Rumah
Kampung Mahmud, merupakan suatu pemukiman
penduduk yang ada di wilayah Desa Mekarrahayu Kecamatan Margaasih. Kampung ini
memiliki ciri tersendiri dibanding dengan kampung-kampung lain di sekitar itu.
Hal tersebut disebabkan Kampung Mahmud memiliki suatu tradisi yang erat
hubungannya dengan sikap perilaku kehidupan sehari-hari, atau dengan kata lain
segala aspek kehidupannya disandarkan pada adat istiadat dan kepercayaan
(sistem religi) yang dianutnya dan dipercayainya. Keadaan ini membuat Kampung
Mahmud memiliki ciri fisik yang agak berbeda bila dibandingkan dengan kampung
lainnya di sekeliling Desa Mekarrahayu. Adapun perbedaan itu, akan terlihat
dari sistem pengelompokkan, sebagian material --bahan bangunan rumah-- yang
dipergunakan membangun rumah, dan tata cara dalam mendirikan rumah. Sikap
demikian itu sangat dipelihara, ‘pelanggaran’ adat dalam mendirikan rumah dan
tata caranya akan menimbulkan petaka bagi dirinya maupun keluarga yang
mendirikan rumah tersebut. Seperti adanya keretakan rumah tangga atau
kecelakaan yang menimpa salah seorang anggota keluarganya.
Bila kita amati struktur tanah yang ada di
daerah Kampung Mahmud, merupakan suatu bentukan endapan rawa dari sungai
Citarum yang mengelilinginya. Sehingga dahulu, di mana tanahnya masih labil
masyarakat setempat sangat mempercayai bahwa dengan membangun rumah permanen
adalah sangat tidak mungkin. Mereka tidak diperkenankan membangun rumah permanen
dengan bahan material tembok -- batu bata, semen, dan lain-lain; dari
bahan-bahan yang berat-- karena kondisi tanah yang labil. Dengan kearifan
karuhunnya, maka dihubungkan dengan mitos dan tabu. Secara keseluruhan rumah
yang ada di dalam lingkungan Kampung Mahmud merupakan sekumpulan imah panggung
‘rumah panggung’, yang mengelompok dalam satu areal Kampung Mahmud.
Sejarah perkembangan Kampung Mahmud ini,
tidak terlepas dari adat istiadat yang melekat pada prinsip hidupnya, namun
tiga belas tahun terakhir ini, dengan prakarsa Bapak Haji Amin sebagai sesepuh
Kampung atau ketua adat, melakukan terobosan dengan membangun mesjid
menggunakan material tembok, listrik masuk kampung, dan alat-alat elektronik,
seperti radio, TV, juga mencoba membuat sumur untuk keperluan minum
sehari-hari. Pertama-tama Bapak Haji Amin mengadakan tawasulan terlebih dahulu
selama 40 hari 40 malam kepada Karuhun agar dalam pembangunannya tidak mendapat
musibah. Akhirnya semua selamat; sumur berair, listrik dapat menyala dengan
baik, demikian pula dengan radio dan TV dapat memberikan hiburan bagi
masyarakatnya.
Pemilihan Bahan Bangunan
Sebelum konstruksi kayu dikenal, bambu
merupakan bahan bangunan yang menentukan konstruksi rumah tradisional,
khususnya di Kampung Mahmud dan umumnya masyarakat tradisional di Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan waktu, maka kayu dapat dijadikan bahan material
untuk bangunan, sehingga dalam pengetahuan tradisional ‘local genius’-nya,
jenis-jenis kayu tertentu dipandang memiliki kekuatan magis. Hal itu sama
dengan pemilihan lahan untuk rumah. Pemilihan kayu yang tidak bertuah dapat
pula menimbulkan petaka bagi penghuni dan atau pemilik rumah tersebut.
Seperti pada pemilihan tempat bangunan,
pemilihan kayu yang bertuah menjadi sangat penting. Bahan-bahan kayu memiliki
sifat-sifat baik atau kurang baik, sifat ini harus diperhatikan dalam membangun
rumah. Bahkan dalam mempersiapkan bahan-bahan ini pun selalu dalam situasi
magis, yaitu melakukan suatu acara semacam ritual ‘ tawasullan’.
Ketika membangun rumah, penduduk Kampung
Mahmud selalu mempersiapkan bahan-bahan bangunan yang teruji, baik dari segi
kekuatan, maupun jenis bahannya.. Pemilihan bahan bangunan dari kayu sangat
bertalian dengan kekuatannya, di samping adanya kepercayaan bahwa sebuah kayu yang
dipergunakan dapat memberikan kekuatan magis.
Untuk penduduk pada umumnya, pemilihan kayu
atau bahan bangunan itu tidak menjadi kendala yang penting,. Oleh sebab itu,
dengan tawasulan mereka dapat meminta kekuatan magis dan kekuatan lainnya dari
dunia gaib sebagai ganti dari bahan kayu yang lainnya. Sehingga dengan bahan
kayu yang lain pun, kekuatan magis yang jelek dapat ditangkal dengan cara
tawasulan .
Seperti disebutkan di atas, sebelum
menggunakan bahan bahan bangunan dari kayu, bambu merupakan bahan material
utama untuk bangunan rumah. Hal itu disebabkan sifat bambu yang kokoh dan
lentur. Penggunaan bambu yang optimal terletak pada bagian konstruksi yang
sekunder, seperti untuk bahan usuk, reng atau bagian iratan untuk dianyam
sebagai tikar, dinding (bilik), dan angit-langit .
Adapun tata cara menebang bambu harus
berdasarkan patokan pamali dan ulah. "....Upami nuar awi mah ulah ayeuna
pamali, engke dina "mangsa" (kapat, karo, katiga), upami iwung
parantos bijil daun, upami iwung parantos sumear" (...bila hendak menebang
bambu jangan sekarang, pamali, nanti pada "musim-nya", bila rebungnya
sudah keluar dan berdaun). Hal ini disebabkan, Tuhan telah memberikan
patokan-patokan khusus tentang masa-masa penebangan bambu. Hukum alam yang
merupakan aksioma itu harus dipelajari dengan benar oleh manusia. Dalam hal ini
manusia Sunda surti akan hal itu. Saat yang paling ideal untuk melakukan
penebangan yaitu pada mangsa 'musim' (kapat, karo, dan katiga) atau pada
bulan-bulan kemarau, yaitu awal Juni sampai Agustus. Sedangkan saat yang paling
baik untuk menanam yaitu pada bulan-bulan musim hujan, biasanya pada
bulan-bulan yang berakhir dengan ber-ber (September, Oktober, dan seterusnya).
Cara menebang bambu, (bambu untuk
dipergunakan sebagai bahan bangunan) menurut pepatah orang tua harus pada waktu
sanggeus cireumis turun 'setelah embun turun', yaitu mulai pukul 09.00 WIB kala
bambu sudah tuus 'sudah tidak mengandung cireumis lagi' sampai dengan pukul
15.00 WIB. Setelah ditebang, bambu diberdirikan agar kandungan air dalam
batangnya cepat turun, dahan dan daunnya jangan dilepas dulu biarkan lepas
sendiri. Bambu yang ditebang dengan cara demikian menjadi lebih baik dan tidak
mudah dimakan bubuk
Dalam hal pengawetannya, bambu direndam di
dalam air yang mengalir dengan bagian pangkal diarahkan ke hulu sungai, atau di
dalam lumpur ‘balong / kolam’, kurang lebih selama 3-4 bulan. Aliran air ini
dimaksudkan untuk melancarkan proses pengeluaran cairan sel bambu sehingga
tidak diserang bubuk.
Bentuk Rumah
Pada umumnya rumah yang ada di daerah
Kampung Mahmud adalah rumah yang berbentuk manjang atau suhunan Panjang, yaitu
rumah berbentuk ‘persegi panjang’.. Hal itu dimungkinkan untuk menunjang
kapasitas dalam menampung jumlah anggota keluarga yang banyak. Apabila dilihat
dari luasnya, bangunan rumah di kampung Mahmud rata-rata sangat besar, yaitu
dari yang terkecil berukuran 4 x 8 meter hingga berukuran 10 x 20 meter,
ditambah dengan halaman yang sangat luas.
Kebiasaan membangun rumah yang luas dan
besar ini sudah merupakan tradisi masyarakat Kampung Mahmud. Sehingga sulit
untuk mendapatkan rumah yang berukuran kecil, seperti di kampung-kampung
lainnya di luar Kampung mahmud.
Rumah besar dan luas ini memberikan
keleluasaan sirkulasi penghuninya untuk bergerak. Sirkulasi udara pun sangat
baik, di mana jendela-jendela dipasang sepanjang dinding dengan ukuran yang
sangat proporsional. Di samping itu, pencahayaan rumah pun cukup baik, karena
dengan letak jendela yang berjajar memanjang memberikan ruang cahaya lebih
banyak.
Sirkulasi atau ruang gerak penghuni pun
tidak terbatas oleh ruang yang ada, sebab jarak antara ruang-ruang yang ada di
dalam rumah cukup lebar. Hanya saja ruang halaman yang ada di luar hanya
dibatasi oleh sebilah bambu yang ‘dipaseuk’ pada ujung-ujung tanah. Batas
teritorial antara ruang halaman
satu dengan halaman yang lainnya sangat
samar.. ‘Panyaweran’ pun dapat dijadikan sebagai batas ruang halaman rumah yang
satu dengan yang lainnya. Batas rumah yang demikian itu, terjadi pada kelompok
rumah yang ada di dekat Kokolot, sedangkan bagi rumah-rumah yang ada di luar
kelompok ini dibatasi dengan pagar kebun.
Upacara Membangun Rumah
Bagi penduduk Kampung Mahmud sudah
merupakan kebiasaan apabila dalam setiap pekerjaan selalu mengadakan tawasulan
kepada karuhun. Tawasul ini dapat juga dilaksanakan seperti dalam membangun
rumah. Tujuan tawasulan ini yakni meminta ijin dan berkah kepada karuhun yang
telah membangun daerahnya agar memperoleh keselamatan dalam melakukan
pekerjaan, sehingga pembangunan rumah dapat terselesaikan dengan baik dan
keluarga yang akan mendiami rumah tersebut selamat.
Biasanya tawasulan diadakan di atas
sebidang tanah yang akan didirikan rumah, dan waktu penyelenggaraannya pada
saat ‘peletakkan batu pertama’. Penyelenggara tawasulan ini ialah keluarga yang
akan membangun rumah. Keluarga tersebut mengundang tetangga sekitarnya dan para
pekerja untuk berdoa dan memohon keselamatan. Tawasulan ini dipimpin oleh
seorang sesepuh kampung. Selesai berdoa, acara diakhiri dengan makan tumpeng
bersama, yang telah disediakan sebagai pelengkap upacara.
Upacara ritual ketika rumah sedang
berlangsung dibangun, yaitu pada waktu naekeun ‘membuat suhunan’ rumah. Pada
waktu rangka suhunan rumah ini akan dibangun, biasanya diadakan semacam upacara
kecil, yaitu menyediakan tumpeng dan menyembelih ayam. Di samping itu
disediakan pula bendera merah putih, yang nantinya dipasang atau dililitkan
pada kayu wuwungan / dikibarkan di tengah-tengah suhunan rumah tersebut. maksud
dan tujuannya adalah memerdekakan dari segala halangan dan rintangan bagi rumah
tersebut.
Pelaksananan upacara tersebut adalah ketika
suhunan ‘atap bangunan’ akan dipasang, maka upacara ritualnya dengan tawasulan.
Sarana upacara tersebut dengan menyembelih seekor ayam, kemudian darah ayam
tersebut dioles-oleskan ke seluruh tiang suhunan atau setiap tiang di pojok
rumah tersebut. Mereka percaya, bahwa dengan cara semacam itu, rumah akan kuat
dan kokoh. Ayam yang disembelih dianggap sebagai tumbal atau penolak bala.
Selain itu, si empunya rumah menyediakan
pula berbagai macam sesajian, seperti : tiwu ‘tebu’, pare ‘padi’, tuangeun
‘makanan kecil’; papais, bodoeusi ‘kue bugis’, hahampangan ‘makanan kecil
berupa opak ketan, kue-kue makanan ringan’ banyaknya tergantung kebutuhan,
bendera, dan yang lebih dianggap magisnya adalah membuat lubang di
tengah-tengah rumah sedalam 30 cm dengan diameter 20 cm. Lubang tersebut diisi
dengan berbagai jenis bumbu dapur dan seuseukeutan ‘benda-benda tajam seperti,
kaca pecah, paku-paku, dan kai rukem ‘kayu rukem’. Sedangkan di atas kayu
wuwungan, bagi pemilik rumah yang berada, biasanya dipasang paku dari emas.
Maksud adan tujuan dari pemasangan paku emas ini adalah untuk memberikan
kekuatan bagi si pemilik rumah ‘nurut buat sing aya ajen samistina martabat
emas’ di samping itu pula sebagai tafaul.
Upacara ritual pada waktu naekkeun suhunan
‘memasang atap’ ini dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan baik hari
maupun jamnya, dan pemilik rumah pun mengundang pemimpin masyarakat (H. Amin).
Kemudian, para pekerja dan segenap keluarga pemilik rumah berkumpul di
tengah-tengah bangunan rumah yang belum jadi. Di tempat ini telah disediakan,
berbagai macam makanan berat seperti tumpeng ‘nasi kuning’ dan peralatan ritual
lainnya. Mula-mula H. Amin menghancurkan kemenyan sebesar ibu jari orang tua
menjadi bagian-bagian kecil, kemudian dibagikan kepada para pekerja dan segenap
keluarga yang ada. Setelah membagikan kemenyan, lalu pemimpin ritual ini
membacakan adzan dengan cara dimulai menghadap ke barat, utara, selatan, timur,
dan ditutup ke barat lagi. Tata cara membacakan adzan tersebut adalah : pertama
menghadap barat hingga kata-kata dalam adzan sampai haya ala salat, pindah
menghadap utara, kemudian menghadap selatan hingga kata-kata haya alal falah,
menghadap timur hingga kata-kata Allah hu akbar pertama, dan kemudian menghadap
barat lagi. Setelah selesai membacakan adzan, kemudian menyembelih ayam di atas
lubang yang ada di tengah-tengah rumah, kemudian darahnya dioles-oleskan ke
setiap tiang penjuru rumah. Pemimpin ritual menghadap ke lubang di tengah rumah
tersebut sambil berdoa salawat nabi yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw,
Syeh Abduklqadir Jaelani, nabi Sulaeman, Raden Patah di Banten, Sembah Dalem
Abd. Manaf, Sembah Dalem Gedug, Sembah Dalem Zaenal Arif, dan semua karomah.
Setelah itu disambung dengan tawasul kepada karuhun hingga ayah dan ibu si
pemilik rumah. Diakhiri dengan pembacaan surat Fatihah sambil diikuti oleh
semua orang yang hadir pada waktu itu. Setelah selesai kemenyan yang dibagikan
itu dipungut kembali dan semuanya dibakar di atas pedupaan dekat lubang.
Upacara ini disebut selamatan, karena telah
selesai membangun rumah dan selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Biasanya pada upacara selamatan disediakan tumpeng dan makanan kecil lainnya.
Jalan dan tata cara upacara selamatan sama dengan tawasulan sebelum mendirikan
rumah, di mana dalam upacara tersebut dipimpin oleh sesepuh atau kuncen Kampung
Mahmud dan dihadiri oleh para tetangga di sekitarnya. Tempat upacara
dilaksanakan di dalam rumah yang telah selesai dibangun.
0 komentar:
Posting Komentar
Saya berharap para pembaca untuk memberikan kritik,saran dan masukannya.