Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang
terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun
1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian
local atau tradisional.
Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari angklung memiliki kandungan local dan internasional seperti bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada maka angklung cepat berkembang tidak saja dipertunjukkan pada kelompok local tapi juga dipertunjukkan pada kelompok regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah dipertunjukan didepan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka Bandung pada tahun 1955.
Jumlah pemain angklung antara satu orang sampai banyak orang bahkan bisa dimainkan pada kelompok 50 orang sampai 100 orang dan dapat diintegrasikan dengan alat lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dll Atau pertunjukannya dapat dikombinasikan dengan kelompok; band, dan orkestra.
Selain sebagai alat seni dan kesenian, angklung juga digunakan sebagai souvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asasories lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh ¿Mang Ujo dan Erwin Anwar¿. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut Saung angklung Mang Ujo" yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah satu program yang ia lakukan khususya untuk mempertahankan "kesenian angklung" adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa mulai TK, sd. SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata pelajaran local (mulok).
Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari angklung memiliki kandungan local dan internasional seperti bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada maka angklung cepat berkembang tidak saja dipertunjukkan pada kelompok local tapi juga dipertunjukkan pada kelompok regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah dipertunjukan didepan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka Bandung pada tahun 1955.
Jumlah pemain angklung antara satu orang sampai banyak orang bahkan bisa dimainkan pada kelompok 50 orang sampai 100 orang dan dapat diintegrasikan dengan alat lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dll Atau pertunjukannya dapat dikombinasikan dengan kelompok; band, dan orkestra.
Selain sebagai alat seni dan kesenian, angklung juga digunakan sebagai souvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asasories lainnya.
Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh ¿Mang Ujo dan Erwin Anwar¿. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut Saung angklung Mang Ujo" yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah satu program yang ia lakukan khususya untuk mempertahankan "kesenian angklung" adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa mulai TK, sd. SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata pelajaran local (mulok).
Asal-usul
Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi
diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung
merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik
bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal
ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang
Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap
sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah
satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal
dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun
ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut
adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap
nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah
(wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan
Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa
penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan
itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-
anak pada waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut
disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu
yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan
seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung
yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan
yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi
iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat
sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand,
antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo
Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan
berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan
bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis Angklung
Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang
Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan
ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam
padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran
(Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi
tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh
dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang
bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman
luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung
Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk
Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong
Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan,Gandrung
Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda
Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan,
dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang
dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan
dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari)
dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan
hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka
dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh
melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata
dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:
indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug
dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen
bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai
bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug
dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan
bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang
Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di
samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal
adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli
dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
Angklung Dogdog
Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang
tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski
kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai
tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai
petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih
dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat
lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit
keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat
Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi,
serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini
berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun
1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen
yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4
buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar
dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen
dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping
Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang,
dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan
angklung cenderung tetap.
Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan
Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati
dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut
padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa
kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal
dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa
Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga
badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk
acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk
dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar
abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar
agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka
berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang
digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2
angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2
angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab.
Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa
Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik,
serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan
lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan
senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.
Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di
antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada
mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi.
Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini
berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang
mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap
sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak
itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu
tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari
rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis,
dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual,
tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya
digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang
terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle...,
dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini
dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2
angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1
angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal,
dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek,
dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras
madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong,
Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis
telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya
laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di
atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang
terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung
Bungko (Indramayu),
Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung
Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong,
Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan
tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia
ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima
(salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si
Etjle (1908—1984) diubah nadanya
menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat
memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke
siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng
Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah
digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan
demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat
bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
Sesuai dengan Teori musik,
angklung padaeng secara khusus dibuat menjadi dua jenis besar yakni:
- Angklung Melodi, adalah angklung yang secara fisik terdiri atas dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung, umumnya ada:
- Angklung melodi kecil, terdiri atas 31 angklung.
- Angklung melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11 angklung.
- Angklung akompanimen, adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada Harmoni. Tabung suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis. Suatu unit angklung standar biasanya memiliki:
- Angklung akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12 buah angklung
- Angklung akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya untuk melatih
anak-anak pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu yang
dimainkan mereka saat itu umumnya lagu wajib. Beberapa peninggalan
aransemen asli Daeng Soetigna misalnya "Satu Nusa Satu Bangsa",
"Ibu Kita Kartini", atau "Wajib Belajar". Sekitar tahun
1980-an, KPA SMA 3 Bandung berdiri dengan perintis muda seperti Djoko, Budi
Supardiman, dan Asep Suhada. Mereka mulai mengaranseman angklung padaeng untuk
musik-musik modern Indonesia seperti "September Ceria" (Vina
Panduwinata), "Astaga" (Ruth
Sahanaya) dan "Gemilang" (Krakatau (grup musik)), bahkan merambah ke
musik manca negara mulai dari "Yesterday" (Beatles),
"Another Day in Paradise" (Phil
Collins), hingga "Bohemian Rhapsody" (Queen).
Angklung Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng
yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C.
Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do sampai Do Tinggi),
sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada sol rendah hingga mi tinggi).
Aruba
Aruba adalah nama grup musik (band) yang pertama kali
memperkenalkan angklung solo, dimana satu unit angklung digantung pada suatu
palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada
diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada
penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Grup Aruba ini berdiri
dirintis oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan kemudian berubah nama menjadi Arumba
sekitar tahun 1969.
Arumba
Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble)
yang minimal terdiri atas:
- Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
- Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
- Gambang bambu melodi
- Gambang bambu akompanimen
- Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh
Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup
"Arumba Cirebon".
Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun
2008. Pada
alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan
posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup
men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena
adanya karet.
Angklung Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus
diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai
namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya
sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan
angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah
memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek
angklung melodi maupun angklung akompanimen.
Teknik Permainan
Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal
memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga
angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan)
menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang
angklung:
- Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
- Centok (sentak), adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
- Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabug ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).
Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna
membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh
seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat
angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan
partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor
akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya
dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta konduktor. Dalam
memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung,
yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah nada
berikutnya mulai berbunyi.
Berlatih Angklung
Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan
beramai-ramai dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang
cukup panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum maupun
angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
- Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
- Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan intonasinya.
- Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan agar si pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
- Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
- Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor. Disarankan agar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
- Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian permainannya.
- Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
- Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para pemain melakukan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.
Angklung Interaktif
Angklung interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor
mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai.
Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah. Pada
para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor sesuai
nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:
- Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, lalu mengajak para peserta memainkan angklung yang tepat dengan menunjuk nada pada layar.
- Konduktor mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian memimpin suatu lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara berurutan untuk diikuti para peserta.
Modernisasi Angklung
Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang
dimainkan dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian,
berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung, seperti:
- Angklung elektrik karya Agus Suhardiman
- Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya
- Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali.
- Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto Rahmadika , kemudian dilanjutkan oleh
Sumber : wikipedia dan jabarprov.go.id
0 komentar:
Posting Komentar
Saya berharap para pembaca untuk memberikan kritik,saran dan masukannya.