ketika cinta berbuah surga

on Kamis, 17 Januari 2013




Di tanah Kurdistan, ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki putra; seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan pemberani. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi sang raja adalah ketika dia mengajari anaknya itu membaca al-Quran. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kesil Said akan merasa jengkel jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang memutuskannya
Terkadang ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba-tiba pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya.
Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya kau mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membentumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kau ajak bercinta untuk surga.”
Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.
“Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan dasar itu, kau pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan; karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan dasyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juta akan bersinar membawa kalian masuk surga.”
“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Said.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kamu jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kamu anggap cocok, untuk menjadi temanmu saat makan pagi disini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur, jika kau bisa mengetahui perilakuknya lebih dari itu.”
Said sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktikkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula, dia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah-marah karena hidangannya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji; memaki-maki karena terlalu lama menunggu hidangan.
Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak-anak sebelumnya. dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring besar berisi tiga telur rebus.
Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”
Adil tidak pernah menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak cocok untuk menjadi teman sejatinya.
Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja dia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.
Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai makann keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya.
Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum.” kata Said seraya meletakkan piring itu di atas meja.
Lalu, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu per satu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiga telur itu telah lenyap. Dia kaget.
“Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan.”
“Semuanya?”
“Ya, habis aku lapar sekali.”
Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa.
Said merasa jengkel kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas dijadikan teman sejati.
***
Akhirnya, Said berfikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, mulailah Said berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik.
Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat. Said memerhatikannya dari balik rumpun pepohonan.
Selesai shalat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”
“Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kau anak seorang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
Said menyahut, “tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Apa aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Mengapa tidak kita coba beberapa waktu dulu? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat, hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia-sekata.”
Said menyepakati syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama, memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada,dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan. Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh katena itu, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak dia dapakan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia diajari untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisakan yang bisa dijadikan obat, serta yang beracun.
“Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah seperti yang ada di ibukota kerajaan, Ilmu ada di mana-mana. Bahkan, di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu.
“Pergilah ke ibukota, berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui di sana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku.” kata Said sambil tersenyum.
“Insya Allah aku akan datang.” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu untuk masuk ke istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.
Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Said pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Selama menunggu, dia tidak pernah memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tenteram.
Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan, senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu bakar itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara itu, Said mengupasnya dengan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebutir telur itu, apakan akan dimakannya sendiri atau …?
Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia membelah telur itu jadi dua; yang satu dia pegang, dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tak ayal lagi, Said menangis terharu.
Lalu, Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga.”
Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Allah SWT. Karena kekuatan cinta itu, mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru kepada para ulama yang tersebar di Turki, Syiria, Irak, Mesir, dan Yaman.
Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil; ayah Said, meninggal dunia. Akhirnya, Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering melakukan shalat tahajud dan membaca Al Qur’an bersama. Kecerdasan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur dan jaya; baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.


Download 

0 komentar:

Posting Komentar

Saya berharap para pembaca untuk memberikan kritik,saran dan masukannya.

yudha trenggana. Diberdayakan oleh Blogger.