Penemuan sejumlah manuskrip kuno
berbahasa Ibrani dan Aramaik di gua-gua Khirbat Qumran, di tepian Laut Mati
antara tahun 1947-1954 telah memancing perdebatan di kalangan para ahli dan
menarik perhatian para pembaca di seluruh dunia. Salah satu faktor paling
penting sehingga menyita perhatian banyak pihak dalam hal ini adalah kemungkinan
adanya penambahanpenambahan historis sehubungan dengan perkembangan gerakan
Kristen pada abad-abad permulaan dan dengan kisah kehidupan Almasih secara
khusus. Kendati adanya kemiripan besar -yang diketahui dari terjemahan
naskah-naskah Qumranantara Jemaat Esenes Yahudi dan kepercayaankepercayaan
Kristen di abad-abad pertama, namun sejauh ini tidak ditemukan sumber yang
menyebut nama Almasih, atau paling tidak nama "guru bijak" berikut masa sejarah
kehidupan sang guru.
Meski beberapa kepercayaan jamaat Qumran
dekat dengan ajaran Kristen, namun mereka merupakan bagian dari eksistensi
Yahudi secara keseluruhan. Oleh sebab itu sebagian mengistilahkan mereka dengan
sebutan "Judeo-Kristen", atau sekelompok penganut Yahudi sekaligus Kristen.
Terlepas dari itu semua, Jemaat Esenses telah meninggalkan wilayah Qumran
menyusul berkecamuknya revolusi Yahudi melawan Romawi kemudian seolah-olah
lenyap tanpa bekas setelah peristiwa pembakaran Beit Suci Yerusalem pada tahun
70 M. Sejauh ini tidak ditemukan adanya indikasi apapun bahwa mereka itulah yang
menyebarkan agama Kristen di wilayah imperium Romawi.
Ramainya opini yang berkembang
sehubungan dengan penemuan naskah Laut Mati ini, nyaris melalaikan adanya
penemuan lain yang tidak kalah pentingnya di wilayah Mesir bagian selatan -dua
tahun lebih awal dari penemuan naskah Qumran-. Manuskrip yang ditemukan ini
tertulis dalam bahasa Koptik dan berisi ajaran-ajaran Kristen. Sejak Kristen
memiliki otoritas politik, menyusul kesediaan Kaisar Konstantinopel untuk
memeluk agama Kristen pada pertengahan abad ke-4 M, Gereja Romawi mengeluarkan
perintah membakar seluruh tulisantulisan yang dinilai bertentangan dengan
ajaran gereja. Hal ini menyebabkan hilangnya sebagian besar sumber sejarah
perkembangan jemaat-jemaat Kristen periode awal khususnya di
Mesir.
Para petinggi Gereja Romawi sejak semula
menilai bahwa ajaran-ajaran Kristen di Mesir adalah bid'ah (heretik) dan tidak
bisa diterima. Jumlah orangorang Koptik yang tewas oleh kekejaman Gereja Romawi
jauh lebih banyak dari jumlah orang yang tewas di tangan penguasa pagan Romawi
pada zaman sebelum itu. Hanya sebagian pendeta-pendeta Mesir sempat
menyembunyikan sekumpulan tulisan Koptik di salah satu gua di pinggiran wilayah
Mesir. Setelah dilakukan penelitian, ternyata tulisan-tulisan itu memiliki nilai
yang lebih penting dari tulisan-tulisan yang ditemukan di Qumran dalam konteks
pelacakan sejarah gerakan I
Dalam pandangan pribadi penulis,
bukti-bukti sesungguhnya dari tulisan-tulisan di Nag Hamadi itu akan
mengantarkan pada pengetahuan bahwa gerakan Kristen yang tersebar di penjuru imperium Romawi bukan
bersumber dari Yehuda, tetapi dari Aleksandria.
Pada bulan Desember, lima puluh
tahun yang lalu -beberapa bulan menyusul berakhirnya Perang Dunia II- salah
seorang petani secara tidak sengaja menemukan sebuah perpustakaan IKemudian guagua yang jumlahnya mencapai 150 buah itu
dipergunakan oleh para pendeta Bakhumiets pada abad-abad pertengahan
sebagai tempat persembunyian.
Konon, Muhammad Ali As-Samman
dan saudaranya Khalifah, sedang mengumpulkan pupuk di
dekat gunung Taref, 10 km timur laut kota Nag Hamadi, di Mesir bagian selatan.
Kerika tengah melakukan penggalian, Muhammad mendapati sebuah sebuah gentong
tertimbun tanah yang sedang digalinya. Ketika diangkat ke permukaan, tampak
bahwa gentong itu cukup besar, tingginya hampir satu meter.
Tutup gentongpun segera dibuka dengan
hatihati oleh keluarga petani miskin itu dengan harapan akan menemukan harta
karun di dalamnya. Lantaran tidak sabar, Samman mengambil sebuah kapak untuk
memecahkan gentong, bukannya emas yang tersimpan, tetapi gulungan-gulungan kulit
kuno. Dengan rasa kecewa kedua orang bersaudara itu mengangkut harta karun yang
mereka dapat itu di atas punggung unta untuk dibawa pulang ke rumah mereka di
dusun Hamra Dum. Gulungan-gulungan kulit itu dicampakkan begitu saja dekat
perapian kalau-kalau bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Kedua orang yang
memang tidak kenal baca tulis itu jelas tidak mengetahui pentingnya kitab-kitab
kuno. Namun takdir yang sebelumnya telah menyelamatkan tulisan kuno itu selama
lebih dari 15 abad di bawah timbunan tanah pekuburan, tidak membiarkan nasib
benda bersejarah itu musnah di perapian keluarga petani miskin. Sebulan menyusul
penemuan tulisan kuno itu, kedua bersaudara Samman terpaksa meninggalkan rumah
untuk melarikan diri dari kejaran pihak berwenang karena tuduhan melakukan balas
dendam atas pembunuhan ayah mereka. Khawatir polisi akan mengetahui temuan
mereka, kedua bersaudara Samman menitipkannya pada salah seorang pendeta Koptik
di kota.
Ketika Ragheb Andraus, adik ipar pendeta
- yang bekerja sebagai guru- menyaksikan jilidan-jilidan tulisan kuno itu,
segera dia mengerti bahwa itu adalah tulisan-tulisan Koptik kuno yang tentu saja
memiliki nilai arkeologis yang tinggi. Diambilnya satu lembar untuk dibawa ke
Kairo dan ditunjukkan pada temannya, George Subhi yang memahami bahasa Koptik.
Selanjutnya Subhi membawa lembaran itu ke Museum Mesir untuk diperlihatkan
kepada direktur Etian Dreytonx, yang berkebangsaan Perancis. Mengetahui nilai
sejarah tulisan kuno itu Etian membelinya dengan harga 250 pound Mesir. Bagian
lain dari manusl
Pada saat itu Kementerian Ilmu
Pengetahun Mesir yang membawahi Departeman Arkeologi pada masa pemerintahan
An-Nahhas Basya, dijabat oleh Dr. Toha Husein, yang meminta anggaran khusus dari
pemerintah guna membeli semua naskah yang ada. Yang perlu dicatat adalah
kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pengetahun Mesir yang saat itu pula
mengeluarkan izin bagi setiap peneliti untuk menelaah naskah-naskah kuno itu.
Akan tetapi menyusul terjadinya Revolusi bulan Juli 1952,
Pemerintahan Mesir yang baru menguasai semua naskah yang ada tanpa ganti rugi,
dengan alasan sebagai kekayaan negara.
Demikianlah bahwa Departemen Arkeologi
Mesir berhasil menyelamatkan semua naskah kuno yang ditemukan di Nag Hamadi itu
dan menyimpannya di Museum Koptik Kuno di Kairo. Kecuali ada satu jilid yang
terdiri dari 15 lembar, telah dijual di luar Mesir dan dibeli oleh Institut
Young pada bulan Mei 1952 untuk selanjutnya dihadiahkan kepada llmuwan terkenal
dalam Ilmu Jiwa yang tidak lain adalah Gustavo Young, karib Sigmund Frued,
bertepatan dengan hari ulang-tahunnya. Setelah Young wafat, naskah itu lantas
dikembalikan ke Museum Koptik.
Berdasarkan hasil penelitian, apa yang
diketemukan di Nag Hamadi merupakan sebuah perpustakaan besar yang menyimpan 52
buah naskah dalam 1152 halaman yang terbagi menjadi 13 jilid yang sebagaian
besar tertulis dalam bahasa Koptik. Konon, para penulis Mesir semenjak zaman
Ptolomeus telah menggunakan huruf-huruf Yunani untuk mengungkapkan bahasa asli
Mesir yang merupakan gabungan dari kalimat dan kaidah Mesir-Yunani. Inilah
bahasa yang dipergunakan oleh para penulis Mesir untuk menyusun tulisan-tulisan
Kristen. Bahasa ini pulalah yang menjadi bahasa resmi Gereja Koptik Mesir hingga
tahun lima puluhan dan kemudian digantikan dengan Bahasa Arab.
Pada tahun 1956, pemerintah Mesir
menyelenggarakan muktamar dengan mendatangkan para peneliti di sejumlah museum
dunia dalam rangka menyusun proyek penterjemahan dan pengkajian naskah-naskah,
tetapi rencana tersebut gagal. Pada tahun 1961 di bawah sponsor Unesco, dibentuk
sebuah komisi dunia untuk tujuan yang sama. Agenda pertama yang dapat
diselesaikan oleh komisi adalah melakukan pemotretan seluruh naskah kemudian
mempublikasikan hasil pemotretan itu dalam satu jilid di kota Leiden, Belanda,
untuk memberikan kesempatan seluas mungkian kepada para peneliti untuk melakukan
peninjauan. Menyusul sesudah itu pembentukan komisi di Amerika Serikat di bawah
pengawasan Pakar Teologi James Robinson dan berhasil merampungkan terjemahan
naskah dalam bahasa Inggris tahun 1975, menyusul kemudian terjemahan dalam
bahasa Jerman dan Perancis.
Naskah-naskah Koptik yang
berhasil ditemukan di Nag Hamadi itu sesungguhnya berisi tulisan-tulisan Kristen
yang dibuat oleh Jemaat-jemaat yang muncul pada awal abad pertama Masehi, yang
dikenat dengan sebutan "Al-Arifin", yang memiliki kemiripan besar dengan Tarikat
Sufi pada zaman sekarang. Jemaat Arifin menganut paham "dualisme wujud", jasad
dan ruh, kenihilan dan wujud, yang keduanya senantiasa dalam pergulatan
sepanjang masa. Jemaat Arifin bercita-cita untuk sampai kepada makrifat yang
hakiki yang -dalam pandangan mereka- bukan makrifat yang dicapai
melalui eksperimen dan indera karena bersifat
jasadi. Namun makrifat yang sesungguhnya adalah mencapai pengetahuan tentang ruh
ilahi yang tinggi. Dan tidak akan mampu mencapai derajat ini kecuali melalui
makrifat manusia pada diri sendiri. Jemaat Arifin-lah yang mula-mula merumuskan
dasar-dasar Ilmu Jiwa, dan inilah alasan Gustaf Young menaruh minat sangat besar
pada tulisan-tulisan mereka.
Hingga bisa mencapai makrifat hakikat
diri, orang-orang Jemaat Arifin tidak segan-seyan meninggalkan kekayaan dan
profesi mereka untuk hidup menyendiri dan hidup sebagai ahli ibadah. Mereka
hanya makan sepotong roti kering dan seteguk air. Menurut kepercayaan mereka,
makrifat ruhiyah menuntut adanya penundukan jasad dan hawa nafsu hingga mampu
mencapai derajat kebeningan jiwa. Sebagian besar waktu dipergunakan untuk
beribadah, mambaca tulisan-tulisan Jemaat, atau menulis hal-hal baru dan
membacakannya pada pertemuan reguler setiap pekan.
Kendati adanya kesulitan besar untuk
mengetahui awal sejarah kemunculan Jemaat Arifin, namun di sana terdapat
beberapa petunjuk yang mengarah pada penentuan zaman keberadaan mereka yakni
semenjak awal pemerintahan Romawi di Mesir atau akhir abad pertama Masehi. Nama
Jemaat Arifin pernah disebut dalam tulisan filosof Yahudi Philo Judaeus, yang
menamakan mereka dengan sebutan "Serabite" atau "manusia-manusia
fatamorgana". Mereka terkenal mahir mengobati penyakit-penyakit serius dan
penyakit-penyakit jiwa dengan mempergunakan ramuan tumbuhan yang mereka tanam di
padang pasir.
Dipastikan bahwa kehadiran agama Kristen
di Mesir untuk pertama kalinya adalah melalui orangorang Jemaat Arifin ini.
Josephus, orang yang pertama kali menulis tentang Sejarah Gereja menyebutkan,
orang-orang anggota Jemaat Arifin itulah yang sesungguhnya mewakili Gereja
Mesir.
Perpustakaan Jemaat Arfin yang berhasil
diketemukan di Nag Hamadi menyimpan Kitab-Kitab Injil yang tidak dikenal
sebelumnya, di samping tulisan-tulisan sastera dan filsafat. Sebagaimana
dimaklumi bahwa Perjanjian Baru terdiri dari empat Injil yang dinisbatkan kepada
Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Injil-Injil inilah yang dinyatakan absah dan
diakui oleh Gereja. Namun, berdasarkan pada temuan di Nag Hamadi, dengan jelas
dinyatakan bahwa di sana terdapat lnjil-injil lain yang beredar semenjak abad
ke-1 hingga abad ke-4 M, di antaranya Injll Thomas -atau Thoma- yang berisi
sabda-sabda Almasih, yang sebagian tercantum dalam empat Injil Perjanjian Baru.
Ada lagi Injil Maria Magdalena, Injil Orang-orang Mesir, Injil Philip dan
Injil-injil yang lain.
Sementara penulisan Injil-Injil
Perjanjian Baru berasal dari tahun 70 M, kita mendapati bahwa Injil Thomas
ditulis pada dua puluh tahun sebelumnya. Berdasarkan perhitungan waktu ini maka
Injil Tomas merupakan Iniil paling tua di antara Iniil-injil yang ada
saat ini.
Jemaat-jemaat Kristen awal -khususnya
yang berada di Mesir- menganut ajaran yang berbeda dengan ajaran Gereja Romawi
semenjak abad ke-2 M. Ketika para Uskup mulai melakukan pembenahan gerakan
Kristen berdasarkan ajaran-ajaran kependetaan pada awal abad ke-3 M, mereka
mulai - khususnya para uskup Roma- memaksakan ajaran mereka kepada gereja-gereja
lain yang jika menolak, mereka akan dianggap melakukan bid'ah dan kesesatan
(terkena anathema-pent.).
Nasib gereja-gereja Mesir dalam hal ini,
sungguh sangat mengenaskan karena mereka tidak mau tunduk kepada kekuasaan Roma.
Pada saat Kaisar Konstantin menyatakan diri sebagai penganut Kristen pada abad
ke-4 M, dan Kristen menjadi agama resmi Kekasisaran Romawi, wibawa Gereja
menjadi semakin besar dan selanjutnya mengeluarkan maklumat untuk membakar semua
tulisan yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Pada zaman inilah terjadi
tragedi pembakaran rumah ibadah Sarabium di Aleksandria dan sebagian besar
manuskrip yang ada di perpustakaan agung Aleksandria ikut terbakar. Inilah
barangkali di antara sebab yang mendorong pendeta-pendeta Bachumiyyin di
Nag Hamadi untuk menyelamatkan tulisan-tulisan kuno itu, memasukkannya di dalam
gentong lalu menyembunyikannya ditempat terpencil.
0 komentar:
Posting Komentar
Saya berharap para pembaca untuk memberikan kritik,saran dan masukannya.