Di situ ditunjukkan
bagaimana orang mengeluh ada sesuatu di dalam tubuhnya dan ternyata adalah alat
bedah. Alat bedah tersebut tertinggal saat pembedahan terakhir. Juga telah kami
tunjukkan kalau kejadian ini bukanlah peristiwa langka, bahkan di negara semaju
Inggris dan Amerika Serikat. Ada apa sebenarnya?
Realitas mungkin
mengejutkan kita. Sebuah penelitian besar dari Lembaga Pengobatan Amerika
Serikat tahun 2007 memperkirakan bahwa “kurang dari separuh” prosedur yang
dilakukan dokter dan keputusannya mengenai pembedahan, resep obat dan
pemeriksaan merupakan keputusan yang pasti dan efektif. Lebih dari separuh
merupakan kombinasi dari tebakan, teori dan tradisi, dengan pengaruh kuat dari
well, kapitalis. Yup, kita sudah akrab dengan faktor yang satu ini. Mengenai
betapa mahalnya harga sewa kamar semalam atau harga obat.
Dokter sering kali
sama butanya dengan pasien mereka saat mereka mencoba memberikan resep obat,
melakukan pembedahan atau pemberian implan. FDA (Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Amerika) hanya mengatur obat, alat dan prosedur pemeriksaan, namun ia
tidak mengendalikan bagaimana dokter harus menggunakannya dan tidak punya
kendali sama sekali pada operasi pembedahan. Kurangnya pengawasan ini berakibat
pada kurangnya pengetahuan dokter mengenai efek samping, bahkan dari produk
atau prosedur yang telah digunakan bertahun-tahun. Bila sebuah produk baru
datang, katakanlah obat jenis baru dan penjualnya menyebutnya obat anti tuberkulosis, dokter kemungkinan kecil tahu perbedaan antara benar atau tidaknya klaim
tersebut.
Akibatnya, dilaporkan
lebih dari 770 ribu orang per tahun di Amerika Serikat mengalami cedera atau
kematian karena komplikasi obat, efek samping tak terduga dan akibat lain yang
semestinya dapat dihindari bila penelitian yang hati-hati dilakukan sebelum
obat tersebut diberikan.
Pengaruh Kapitalisme
Studi tahun 2002 dalam
Journal of the American Medical Association (JAMA) mengungkapkan kalau 87
persen penulis panduan obat mendapatkan pendanaan dari industri dan 59 persen
di bayar oleh perusahaan obat yang berkaitan dengan panduan obat yang mereka
tulis. Lebih baru lagi, ditemukan kalau obat Avandia yang berfungsi mengobati
diabetes ternyata memiliki efek samping peningkatan resiko serangan jantung.
Kenapa obat ini bisa lolos. Ternyata kemungkinan para penulis artikel jurnal
ilmiah medis yang mendukung efektivitas obat ini didanai oleh perusahaan obat
tersebut tiga hingga enam kali lipat lebih banyak dari ilmuan yang netral murni
dari Universitas.
Dalam pembedahan juga
demikian. Ambil contoh pembersihan karotid di arteri. Penelitian menunjukkan
kalau teknik carotid endarterectomy berhasil mengurangi resiko stroke
sekitar 1 hingga 5 persen dalam lima tahun. Walau begitu, justru hasil
pembedahannya sendiri mampu meningkatkan resiko stroke, serangan jantung dan
kematian sebesar 3 persen. Teknik bedah yang diajukan sebagai pengganti,
stenting, malah harus di hentikan karena membunuh pasien sebagai mana
dilaporkan dalam studi di Perancis tahun 2006 yang diterbitkan dalam New
England Journal of Medicine. Studi lain juga menemukan kalau 4.7 persen pasien
mengalami stroke atau kematian dalam empat tahun setelah pembedahan
endarterectomy, dibandingkan dengan 6.4 persen mereka yang dibedah dengan
teknik stenting.
Peran ekonomi sangat
kuat. Para ilmuan farmasi yang bekerja di perusahaan obat mungkin tahu kalau
obat yang mereka rancang ternyata tidak efektif atau memiliki efek samping
fatal. Namun eksekutif perusahaan tidak mau tahu. Mereka mengintimidasi dan
memaksa para ilmuan mengganti penafsirannya. Kasus yang mencuat ke permukaan
dicontohkan pada kasus Mary E Money, seorang internis dari Hagerstown, Marylan.
Ia sadar kalau beberapa pasiennya yang dirawatnya mengalami gejala gagal
jantung. Ia meneliti dan menemukan penyebabnya, yaitu Avandia. Segera beliau menghubungi
perusahaan produsen obat tersebut untuk memperingatkan hal ini. Perusahaan
tersebut kemudian mengirim surat ke Kepala Rumah Sakit tempat Mary bekerja
untuk memaksa Mary tutup mulut. Mary merasa sangat terintimidasi dan mencoba
mempublikasikan hasil penelitiannya ke jurnal ilmiah. Namun ia tidak
mendapatkan dukungan dari teman penelitinya sendiri.
Kasus Mary
mencerminkan puncak dari sebuah gunung es. Sangat mudah bagi dokter untuk
mengabaikan atau melewatkan bukti, khususnya bila perusahaan obat atau alat
medis menggunakan teknik pemasaran yang agresif untuk menangkal laporan yang
dapat merusak pasaran. Tahun 2002, JAMA melaporkan hasil sebuah studi besar
yang disebut ALLHAT, atau Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to
Prevent Heart Attack Trial. Penelitian ini memeriksa obat-obatan yang digunakan
untuk menurunkan tekanan darah. Hasilnya mengejutkan, obat diuretik generik
yang murah sama efektifnya dalam mengendalikan tekanan darah dan mencegah
serangan jantung dibandingkan obat yang mahal dan bermerk.
Dokter itu Sendiri
Halangan lain datang
dari dokter sendiri. Seorang dokter bukanlah seorang yang super jenius, mampu
menghapal setumpuk ensiklopedia nama ilmiah anggota tubuh atau penyakit,
gejala, diagnosis dan segala jenis obat dari sisi kimiawi, biologi dan fisikanya. Kepala mereka bisa
meledak, sementara waktu terus menekan. Harga diri juga kadang bermain. Takut
dibilang dokter yang tidak percaya diri karena melihat buku dan meminta waktu
lama pada pasien. Kadang justru pasien malah ragu dengan dokter yang demikian,
padahal ini jauh lebih baik dari pada semata menebak, berteori dan meneruskan
tradisi pemberian obat. Alhasil, kadang pasien diberikan setumpuk obat yang
kegunaannya bermacam-macam, padahal untuk menutupi ketidak tahuan sang dokter
tentang penyakit yang diderita sang pasien.
Michael Wilkes, wakil
dekan Pendidikan di Universitas California di Davis mengeluhkan kalau sebagian
besar mahasiswa kedokteran tidak diajarkan cara berpikir kritis. Diantara yang sedikit ini adalah David Newman dari Mount Sinai. Ia
terkejut saat masuk kuliah kedokteran saat ia bertanya pada seniornya, ternyata
para seniornya yang telah bertahun-tahun menjadi dokter, memberikan jawaban
yang semata berbentuk opini tanpa basis fakta.
Adanya kondisi ilmiah
ini membuat studi kedokteran yang menggunakan metode meta analisis tampaknya
merupakan metode yang tidak berguna. Studi meta analisis pada dasarnya adalah
studi yang meninjau sebanyak mungkin studi, artinya ia sebuah Tinjauan
Literatur belaka. Apa jadinya jika seorang ilmuan kedokteran dengan berbekal
penelitian meta analisis mengklaim kalau mayoritas penelitian menunjukkan tidak
adanya efek samping suatu obat, padahal kenyataannya ada efek samping yang
fatal.
Solusi
Solusi masalah ini
terang benderang. Harus dilakukan reformasi kebijakan kesehatan dan pendidikan
praktisi kesehatan. Calon dokter, perawat dan yang terkait harus diajarkan cara
berpikir kritis dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Pendanaan penelitian
obat harus berada di tangan Universitas dan netral dari campur tangan
perusahaan farmasi. Solusi lain dapat menyusul, seperti peradilan malpraktek
dan sebagainya, tapi pendidikan dan kebijakan adalah dua hal yang paling
penting.
Bagi kita para awam,
hal ini tampaknya mimpi buruk abad pertengahan yang bangkit kembali. Apa
bedanya dokter dengan dukun kalau begitu? Well, tetap ada bedanya. Yang kita
perlu adalah kebijaksanaan dan kemampuan berpikir kritis. Obat tradisional
mungkin lebih manjur, tapi kita perlu bukti. Obat yang lebih mahal mungkin
lebih manjur, tapi kita juga perlu bukti. Mungkin cukup bijak bagi saya untuk
ke Puskesmas terlebih dahulu sebelum ke dokter. Di Puskesmas murah meriah dan
seperti dalam penelitian di Amerika Serikat tadi, obat generik ternyata sama
efektifnya dengan obat mahal.
Walau bagaimana pun,
gambaran di atas adalah kondisi yang terjadi di Amerika Serikat. Mengenai
Indonesia? Mungkin lebih baik, mungkin juga lebih buruk. Bagi anda yang
menyimpulkan kalau Indonesia lebih buruk, terutama karena “Hei, negara maju
seperti Amerika saja masih seperti itu, apalagi kita” maka anda harus
berhati-hati.
Mungkin saran dari
Sheldon Lipshutz, M.D, dokter yang berpengalaman lebih dari 40 tahun dapat
berguna untuk anda. Sebelum anda memutuskan untuk menemui dokter, anda harus :
1.
Memikirkan secara kritis keputusan tersebut, terutama akibatnya sebelum, saat,
dan sesudah perawatan
2.
Ingatlah kalau dokter tidak selalu benar
3.
Rasa sakit adalah tanda bagian tubuh ada yang salah, karena itu kenali
jenis-jenis penyakit
4.
Bersiap-siaplah dengan kemungkinan terburuk
5.
Buatlah rencana kesehatan dan periksa secara kritis alternatif lain selain
dokter
6.
Bekerja samalah dengan dokter bila memang jadi berkunjung ke dokter, karena
diagnosa hanya dapat berhasil bila anda mau berterus terang dan bekerja sama
7.
Setiap konsumsi obat memiliki pengaruh. Karenanya kenali obat anda
8.
Anda harus lebih hati-hati lagi bila anda wanita
9.
Dan anda juga harus memberi perhatian lebih pada anak-anak dan manula
10. Kenali
tubuh anda sendiri
Referensi
1. Guy L.
Clifton. Flatlined : Resuscitating American Medicine. Rutgers University Press,
2009
2. CBC
News. Diabetes drug Avandia’s risk concerns
mount. June 28, 2010
3. Jerome Groopman.
How Doctors Think. Houghton Mifflin Company; 1st edition (March 19, 2007)
4.
Shannon Brownlee. 2008. Perception vs. Reality: Evidence-Based
Medicine, California Voters, and the Implications for Health Care Reform. Campaign for Effective Patient
Care
5.
Jeanne Lenzer dan Shannon Brownlee. November 2010. Reckless
Medicine. Discover Magazine. P. 65-73
6. Institute of
Medicine. 2008. Knowing What Works in Health Care: A Roadmap for the Nation
7. Reducing and
Preventing Adverse Drug Events To Decrease Hospital Costs. Research in Action,
Issue 1. AHRQ Publication Number 01-0020, March 2001. Agency for Healthcare
Research and Quality, Rockville, MD. http://www.ahrq.gov/qual/aderia/aderia.htm
8. Niteesh K.
Choudhry, MD,FRCPC; Henry Thomas Stelfox, MD,FRCPC; Allan S. Detsky,
MD,PhD,FRCPC. Relationships Between Authors of Clinical Practice Guidelines and
the Pharmaceutical Industry. JAMA. 2002;287:612-617
9. Jean-Louis
Mas, M.D., Gilles Chatellier, M.D., Bernard Beyssen, M.D., Alain Branchereau,
M.D., Thierry Moulin, M.D., Jean-Pierre Becquemin, M.D., Vincent Larrue, M.D.,
Michel Lièvre, M.D., Didier Leys, M.D., Ph.D., Jean-François Bonneville, M.D.,
Jacques Watelet, M.D., Jean-Pierre Pruvo, M.D., Ph.D., Jean-François Albucher,
M.D., Alain Viguier, M.D., Philippe Piquet, M.D., Pierre Garnier, M.D., Fausto
Viader, M.D., Emmanuel Touzé, M.D., Maurice Giroud, M.D., Hassan Hosseini,
M.D., Ph.D., Jean-Christophe Pillet, M.D., Pascal Favrole, M.D., Jean-Philippe
Neau, M.D., and Xavier Ducrocq, M.D. Endarterectomy versus Stenting in Patients
with Symptomatic Severe Carotid Stenosis. N Engl J Med 2006;
355:1660-1671October 19, 2006
10. Hurley, Dan.
Carotid Endarterectomy Rates Fall, But Stenting Jumps as Wide Geographic
Variation Persists. Neurology Today: 2 September 2010 – Volume 10 –
Issue 17 – pp 6-7
11. The
Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial.
Erratum in: JAMA. 2004 May 12;291(18):2196.
12.
Sheldon Lipshutz, 2004. 10 Things You Need to Know Before You See the Doctor.
Silver Lake Publishing.
0 komentar:
Posting Komentar
Saya berharap para pembaca untuk memberikan kritik,saran dan masukannya.